•22:28
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-71)
Jum’at, 9 Oktober 2009
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Jum’at, 9 Oktober 2009
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
KAMPUS YANG ISLAMI
Untuk menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan merebaknya teknologi informasi, peran Perguruan Tinggi (PT) harus lebih dioptimalkan. Perguruan Tinggi dalam segala bentuknya, seperti universitas, institut, sekolah tinggi, atau akademi, harus memainkan peranan yang lebih optimal sebagai wadah untuk memanusiakan manusia, lahan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, penggerak pembangunan bangsa, pemantau dinamika masyarakat, dan sebagai pemberdaya masyarakat. Jika dipersingkat, peranan-peranan tersebut menyangkut tiga hal (Tri Darma Perguruan Tinggi), yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Perguruan Tinggi Islam (PTI), khususnya, mengemban tugas yang lebih berat karena ia tidak hanya memainkan peranan-peranan tersebut di atas tetapi juga harus merefleksikan keislamannya dalam dimensi kongkrit. Hal ini menjadi konsekuensi logis PTI. PTI dituntut untuk mengembangkan pendidikan dan proses belajar-mengajar agar mencapai tujuan pendidikan. Pengembangan iptek merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai pemberdaya masyarakat, PTI juga dituntut untuk menyumbangkan "kekayaannya" kepada masyarakat. Refleksi islami harus dilakukan oleh PTI melalui berbagai hal seperti tujuan pendidikan, kurikulum, sarana belajar, kepribadian person, kegiatan kampus, pakaian, dan sebagainya.
Strategi pengembangan kampus yang islami (PTI) melibatkan aspek-aspek fundamental seperti etos kerja (juga etos belajar), kepemimpinan, situasi-kondisi ilmiah, dan refleksi islami. Aspek-aspek tersebut sulit dikembangkan jika akar permasalahan PTI tidak ditemukan. Pada era sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan Islam menghadapi beberapa krisis seperti krisis konseptual, kelembagaan, pemikiran, metodologi, orientasi, dan krisis personal. Namun demikian, akar permasalahan dalam pengembangan kampus yang islami adalah krisis personal dan krisis kelembagaan.
Krisis personal adalah problem sumber daya manusia (SDM). Problem ini dapat dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Segi kuantitas menyangkut jumlah, dalam hal ini adalah jumlah karyawan, dosen, ataupun mahasiswa. Kuantitas tersebut sering menjadi problem; Misalnya, jumlah mahasiswa yang sedikit akan mengurangi income universitas. Contoh lain, jika jumlah pegawai perpustakaan universitas kurang memadai, maka proses mulai masuknya buku (acquisition) sampai buku di rak siap dipinjam (shelving) akan memakan waktu yang lama, berbulan-bulan, bahkan setahun lebih.
Kualitas manusia, yaitu kualitas dosen, karyawan, ataupun mahasiswa tidak kalah penting. Mereka penghuni kampus, mereka "menghidupkan" kampus. Segi kualitas mencakup kompetensi dalam bidangnya, kemampuan berbahasa asing (terutama bahasa Arab dan Inggris), kepekaan terhadap lingkungan, dan kemampuan berpikir kritis/kreatif. Seorang pemimpin di dunia kampus hendaknya juga memenuhi kualitas dimaksud. Jika kualitas tersebut kurang diperhatikan, maka permasalahan akan selalu muncul. Misalnya, jika kemampuan dosen dalam berbahasa asing kurang, maka mereka akan kesulitan memahami textbooks berbahasa asing atau mereka akan tersingkir dalam persaingan untuk studi lanjut ke luar negeri.
Krisis kelembagaan dalam pendidikan Islam merupakan problem yang menyangkut manajemen (personel, pekerjaan, dan keuangan), refleksi islami, kepemimpinan, dan situasi-kondisi lembaga pada umumnya. Dalam manajemen personel, misalnya, rekruitmen karyawan atau dosen yang didasarkan pada sistem famili atau koneksi, tidak didasarkan pada skill, akan menjadi krisis. Hal ini jelas akan merusak tatanan kerja, sebab mereka yang melalui koneksi mungkin tidak ahli dalam pekerjaannya, sehingga atasan perlu "mendidiknya" yang tentu akan menambah waktu dan biaya. Pengurusan yang terlalu birokratis, alur komunikasi yang tidak jelas, aturan main yang tidak transparan, dan job distribution yang simpang siur juga merupakan bentuk krisis kelembagaan.
Solusi-solusi
Solusi terhadap problem (krisis-krisis) tersebut berkaitan dengan berbagai hal, yaitu:
1. Etos Kerja (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-54”)
Seorang muslim harus mampu menunjukkan dan membuktikan etos kerja yang positif. Beberapa ciri etos kerja positif adalah mempunyai tujuan/sasaran yang jelas, spirit kerja yang tinggi, planning yang mantap, teguh berdisiplin, kesadaran unit, tanggung jawab, profesional, kreatif/dinamis, dan evaluasi.
Tujuan kerja (‘amal) adalah ridho Allah (the pleasure of Allah). Tujuan (cita-cita) mencakup dua tujuan yaitu kebahagiaan dunia (jangka pendek) dan kebahagiaan akhirat (jangka panjang). Orang yang beriman menggunakan agamanya (titik pandang Ilahi, the divine point of view) sebagai sumber inspirasi kerja, akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, (QS 28:77 ; 16:97).
Bagi seorang muslim, spirit kerja harus didasarkan pada peribadatan (pengabdian) kepada Allah, sehingga suatu kerja dapat bernilai ibadah (QS 2:21 ; 51:56). Oleh karena itu, aturan-aturan kerja harus sesuai dengan apa yang diridloi oleh Allah. Kerja harus dilandasi dengan semangat pengabdian, keikhlasan, pengorbanan, dan profesional. Spirit kerja tidak semata didorong dengan semangat materialisme, sebab materialisme dapat menghantarkan manusia ke arah egoisme, rakus, monopoli, dan kolusi.
Rencana belajar dan kerja harus benar-benar matang dan mantap. Pelajaran masa lalu dan kenyataan masa kini dipertimbangkan dengan masak untuk kebaikan masa depan (QS 59:18).
Disiplin kerja meliputi disiplin aturan, disiplin waktu, dan disiplin profesional. Disiplin aturan mengacu pada ketaatan pada aturan-aturan yang telah ditentukan. Disiplin waktu menunjukkan ketepatan waktu dalam suatu aktifitas misalnya meeting. Disiplin profesional ialah link and match antara keahlian dan pekerjaan yang dihadapi (QS 17:36 ; 18:23-24 ; 61:2-4).
Kesadaran unit ialah sense of belonging unit kerjanya, merasa dalam satu sistem yang harus bersatu dan bekerja sama. Dengan demikian, masing-masing person dalam unit itu tidak bekerja sendiri-sendiri. Jika rasa ini ditumbuhkan maka pencapaian tujuan atau target kerja akan mudah diwujudkan (QS 5:2 ; 9:71).
Kerja (‘amal) akan dipertanggung-jawabkan baik di dunia maupun di akhirat; Di dunia bertanggung jawab pada atasan, masyarakat, atau negara; sedang di akhirat bertanggung jawab kepada Allah swt. Kita akan bertanggung jawab atas bagaimana bekerja dan apa hasil kerjanya (QS 9:105 ; 16:93).
Suatu kerja harus dilakukan secara profesional, artinya dikerjakan sesuai dengan keahliannya. Dengan kata lain, jika seseorang melakukan suatu kerja maka dia harus memahami apa yang dia kerjakan (Q.S. 17:36,84). Suatu kerja hendaknya dilakukan dengan penuh kreativitas dan dinamis, sebab kreativitas akan memunculkan suatu output baru yang akan berkembang, sedangkan dinamis akan menunjukkan kerja yang keras (sungguh-sungguh) (QS 94:7-8). Evaluasi merupakan hal yang sangat penting dalam suatu kerja. Hal ini akan menemukan kekurangan sekaligus kelebihan. Kekurangan untuk diperbaiki, sedang kelebihan untuk dipertahankan dan ditingkatkan (Q.S. 30:42 ; 59:18).
2. Kepemimpinan (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-38, 39, 40”)
Shalat jama'ah merupakan simbol atau miniatur kehidupan masyarakat. Imam shalat dianalogikan dengan pemimpin masyarakat, sedangkan makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat. Shalat jama'ah mempunyai aturan-aturan tertentu, masyarakat pun mempunyai aturan. Mekanisme shalat jama'ah menggambarkan mekanisme kehidupan masyarakat.
Kepemimpinan (termasuk tiga faktor di atas) digambarkan dengan bagus sekali dalam ajaran shalat, terutama shalat jama'ah. Shalat jama'ah mengajarkan hubungan antara atasan (imam) dan bawahan (makmum); Imam bertugas memimpin, mengarahkan, dan memberi contoh, sedangkan makmum mengikuti imam (pemimpinnya) selagi dia dalam kebenaran. Jadi, struktur tugasnya jelas. Kejelasan ini juga disimbolisasikan dengan shof (barisan) shalat yang lurus dan rapat. Posisi seorang imam adalah kuat, tetapi jika imam "batal" (telah menyimpang dan tidak disenangi makmum/bawahan) maka kekuatannya akan hilang.
Gerakan shalat dapat menggambarkan simbol kepemimpinan yang ideal. Kepala yang di dalamnya terdapat otak menjadi koordinator (pemimpin) aktifitas tubuh manusia. Saat shalat kepala harus bergerak di atas (saat berdiri), di tengah (saat ruku' dan duduk), dan di bawah (saat sujud). Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan seluruh rakyatnya, baik masyarakat kelas bawah, menengah, maupun atas. Dia seharusnya dapat bermusyawarah dengan rekan (rakyat)-nya di kalangan atas dengan demokratis. Dia seharusnya melihat keadaan dan mendengar suara rakyat kelas menengah. Dia juga seharusnya "turun ke bawah" untuk memperhatikan keawaman dan kemiskinan rakyat bawah, untuk mendengarkan rintihan dan usulan wong cilik, dan untuk memikirkan pemecahan problematika mereka.
3. Situasi-kondisi Ilmiah (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-36, 43-53, 55, 57-62”).
Situasi dan kondisi ilmiah di kampus adalah situasi dan kondisi kampus yang benar-benar mencerminkan suasana yang berdasar ilmu, yaitu yang bersistem, beraturan, dan "sejuk". Situasi dan kondisi tersebut dapat diciptakan melalui sarana, kegiatan, dan kualitas SDM yang baik.
Sarana yang dimaksud adalah sarana yang mendukung terciptanya iklim ilmiah, misalnya perpustakaan, laboratorium, gedung pertemuan untuk seminar, majalah atau koran kampus, dan lembaga-lembaga ilmiah seperti Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (LPPI), Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), tim-tim peneliti, kelompok-kelompok studi, dan sebagainya. Sarana-sarana tersebut perlu digunakan secara optimal agar tercipta iklim ilmiah kampus yang sejuk.
Kegiatan-kegiatan penelitian, penerbitan, seminar, diskusi, bedah buku, kursus bahasa asing, lomba karya tulis, dan sebagainya perlu ditumbuh-kembangkan di kampus, baik untuk konsumsi mahasiswa, dosen, karyawan, maupun masyarakat umum. Kampus yang tidak giat dengan aktifitas-aktifitas tersebut adalah "kampus mati". Hal ini karena universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
SDM yang berkualitas baik akan mendukung terciptanya iklim ilmiah di kampus. Merekalah yang menggerakkan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian dan seminar. Misalnya, seorang dosen/karyawan yang berkualitas baik dalam bahasa asing dapat dimanfaatkan untuk mengelola laboratorium bahasa secara optimal dan menggerakkan kursus bahasa asing. Seorang pakar tentunya akan memeriahkan kegiatan seminar atau diskusi.
4. Refleksi Islami (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke- 4-10, 31-35”)
Perguruan Tinggi Islam adalah suatu lembaga pendidikan yang harus merefleksikan keseluruhan ajaran Islam (Q.S. 2:208). Refleksi islami ini mencakup tujuan pendidikan, kurikulum, sarana belajar, kepribadian person, pakaian, kegiatan kampus, dan sebagainya.
Tujuan pendidikan di PTI tentunya harus membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah, yaitu manusia yang memainkan peranan sebagai abdullah dan khalifatullah dengan baik, serta dapat merealisasikan misi Rasulullah sebagai rahmatan lil-'aalamiin. Hal ini harus didukung dengan kurikulum yang islami. Tidak ada dualism "pendidikan agama" dan "pendidikan umum". Bidang studi kedokteran, teknik, ekonomi, hukum, dan ilmu lain yang dianggap "umum" harus dimasuki roh/nilai Islam. Integrasi antara Islam dan iptek sangat perlu dilakukan. Tujuan pendidikan tersebut juga harus ditopang dengan sarana belajar yang memadai, seperti adanya perpustakaan yang memadai, masjid/mushola yang aktif dan buku-buku tentang Islam.
Kepribadian seluruh sivitas akademika, seperti mahasiswa, karyawan dan dosen, harus benar-benar mencerminkan kepribadian yang islami. Pemikiran, tingkah laku, sikap terhadap orang lain, dan pakaian harus dipandu oleh ajaran Islam. Mahasiswa atau oknum dosen yang menyalahgunakan narkoba, misalnya, bukan merupakan refleksi islami. Mahasiswa yang curang (“ngepek”) saat ujian bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Dosen materialis yang bertransaksi jual-beli nilai bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Pakaian yang ketat dan membuka aurat bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Pelacuran ilmu atau jabatan bukan refleksi islami. Manipulasi, korupsi, dan suap finansial di kampus juga bukan merupakan refleksi islami.
Kegiatan-kegiatan di kampus juga harus mendukung tujuan pendidikan. Kajian-kajian ajaran Islam, seminar suatu disiplin ilmu yang bernuansa islami, penelitian-penelitian, aktifitas mahasiswa, sampai proses belajar-mengajar harus merupakan refleksi islami. Misalnya, mengawali dan mengakhiri kegiatan kuliah dengan berdoa, mengaktifkan kajian Islam di masjid, menggerakkan shalat berjama'ah (terutama shalat dluhur) di masjid, menggiatkan pengajian karyawan/dosen, dan sebagainya.
Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
0 comments: