•02:35
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-74)
Jum’at, 30 Oktober 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


PERPUSTAKAAN YANG ISLAMI (3) - Perpustakaan Masjid

Ditinjau dari segi historis, perpustakaan masjid telah muncul sejak abad VII atau VIII Masehi. Beberapa perpustakaan masjid telah dirintis pertama kali pada waktu itu di Afrika Utara dan Spanyol. Pada antara tahun 670 M (50 H) dan 680 M (60 H) di Tunisia telah dibangun sebuah masjid bernama Qayrawan (juga nama sebuah kota) oleh seorang pimpinan militer bernama Uqba Ibn Nafi. Masjid Qayrawan menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan yang terpenting di Afrika Utara Saat itu. Pada bagian ruangannya, yang digunakan sebagai perpustakaan, terdapat banyak koleksi buku dan musyhaf al-Quran hasil sumbangan dari para ulama (sarjana) atau pimpinan negara seperti Hamza al-Andari, al-Muiz Ibn Badis, dan Ahmad Abi Ayub.


Di kota Tunis juga dibangun masjid Zaytuna pada sekitar tahun 699 M (80 H), yang sekarang dikenal sebagai Universitas Zaytuna, oleh Hassan Ibn al-Numan ; Kemudian diperluas oleh Ubaidillah Ibn al-Habhab pada tahun 734 M (116 H). Masjid ini mempunyai dua perpustakaan : perpustakaan Abdaliya dan Ahmadiya. Perpustakaan Abdaliya pada mulanya terpisah dengan masjid tetapi kemudian digabungkan dengan bangunan masjid. Perpustakaan ini juga dikenal dengan nama Sadiqiya, dibangun oleh raja Hafside yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibn al-Husain. Koleksi perpustakaan ini lebih dari 5000 manuskrip, yang sekarang menjadi milik Arsip Nasional Tunisia. Perpustakaan yang terbesar dan mempunyai koleksi terpenting di masjid Zaytuna adalah perpustakaan Ahmadiya. Perpustakaan ini berlangsung 'hidup' sampai pada periode pemerintahan Hafside (1227 - 1574 M). Koleksinya mencapai puluhan ribu ; Yang paling terkenal sebagai penyumbang adalah Abu Faris Abdul Aziz yang pada tahun 1394 M (797 H) menyumbang perpustakaan Ahmadiya sebanyak 36.000 buah buku.


Ketika Islam menduduki Spanyol (711 - 1492 M), banyak dibangun masjid beserta perpustakaannya. Salah satu yang paling terkenal adalah masjid agung Cordoba, yang dibangun pada tahun 786 M (170 H) oleh raja Umayyah yaitu Abdur Rahman. Sewaktu dibuka perpustakaan masjid ini telah mempunyai sejumlah besar koleksi. Namun sayang, koleksi yang banyak dan sangat berharga ini dihancurkan (dibakar) oleh Raja Ferdinand II saat penyerbuan ke kota pada tahun 1236 M (634). Salah satu yang dibakar adalah kopi Musyhaf Ustmani yang ditulis oleh Khalifah ketiga Ustman Ibn Affan (meninggal tahun 656 M / 36 H). Perpustakaan masjid yang lain di Spanyol adalah perpustakaan masjid Byazin di kota Valencia, masjid agung Malaga, masjid agung Seville, dan sebagainya.


Di Damascus juga terdapat banyak perpustakaan masjid ; misalnya, perpustakaan masjid Umayyad, yang dibangun oleh khalifah Bani Umayyah yaitu Walid Ibn Abdul Malik pada tahun 714 M / 96 H. Masjid Umayyad menjadi kebanggan besar masyarakat Damascus. Perpustakaan masjid ini membawahi beberapa perpustakaan di sekolah-sekolah seperti perpustakaan Samisatiya (aktif sampai tahum 1421 M / 824 H), perpustakaan Bait al-Khitaba (masih aktif pada tahun 1609 M / 1018 H), perpustakaan Fadiliya (dibangun oleh Ibn al-Qadi al-Fadil Ahmad al-Baiqani, meninggal tahun 1245 M / 643 H), dan perpustakaan Qubbat al-Mal (yang ditutup pada tahun 1899 M / 1317 H). Perpustakaan lain di Damascus adalah perpustakaan masjid Darb al-Madaniyyin, yang aktif semasa sejarawan besar Ibn Asakir hidup (meninggal tahun 1175 M / 571 H) dan perpustakaan masjid Yalbagha, yang dibangun pada tahun 1443 M / 847 H oleh raja Mamluke yaitu Yalbagha al-Umari.


Masih banyak perpustakaan masjid lainnya seperti di Marocco, Mesir, Iraq, Libya, Algeria, dan sebagainya. Sehubungan dengan sejarah perkembangan perpustakaan masjid, Mohamed Makki Sibai menulis lebih detail dalam bukunya yang berjudul Mosque Libraries : an Historical Study (1987).



Mengembangkan Perpustakaan Masjid

Masjid adalah sebuah kata berbahasa Arab yang berarti tempat sujud ; Tetapi masjid tidak bermakna sesempit itu. Sejak jaman Rasulullah saw., masjid telah memainkan peranan peribadatan, pendidikan, sosial, dan bahkan politik. Dengan kata lain, masjid bukan hanya sebagai tempat shalat tetapi juga tempat belajar, tempat rapat, dan tempat berkumpulnya masyarakat. Perpustakaan masjid merupakan manifestasi dari peranan pendidikan dan sosial masjid.


Kesadaran ummat Islam terhadap pendidikan, buku, ataupun perpustakaan telah dirintis sejak kurang lebih 14 abad yang lalu, ketika Rasulullah saw. menerima kalimah wahyu pertama Iqra (bacalah) dalam al-Quran surat al_'Alaq ayat 1 - 5. Wahyu pertama ini membawa perubahan besar pada kehidupan manusia sampai saat ini. Perubahan dari budaya "ngomong" (oral culture) lalu berkembang menjadi budaya baca-tulis. Oleh karena itu, kehadiran perpustakaan masjid tidak bisa ditunda.


Pada dasarnya membangun dan mengembangkan perpustakaan masjid tidaklah berbeda dengan membangun dan mengembangkan perpustakaan jenis lain. Walaupun demikian, perpustakaan masjid mempunyai spesifikasi tersendiri, yang terlihat pada jenis koleksi, manajemen, pengelola, maupun pemakai. Hal-hal tersebut yang akan dapat membedakan dengan perpustakaan jenis lain. Lokasi perpustakaan, seharusnya bergabung atau satu areal dengan masjid, juga menjadi ciri khas.


Spesifikasi koleksi perpustakaan masjid menjadi ciri khas yang utama. Ciri khas tersebut adalah bahwa koleksi perpustakaan masjid pasti berkenaan dengan agama Islam, misalnya buku-buku tentang al-Quran, al-Hadits, Fiqih, Tauhid, Bahasa Arab Sejarah Islam, Pendidikan Islam, dan sebagainya. Hal ini bukan berarti bahwa perpustakaan masjid menutup kemungkinan adanya koleksi jenis lain. Jauh lebih baik apabila perpustakaan masjid juga menyediakan koleksi reference (seperti kamus, enciklopedi, peta, dsb.), buku-buku tentang "pengetahuan umum" (misalnya tentang Sosiologi, Psikologi, Sejarah, Ekonomi, Pendidikan, dsb.), majalah ataupun surat kabar, dan koleksi bukan cetakan (kaset, mikro film, CD, dsb.). Tentu saja untuk memenuhi koleksi lengkap tersebut memakan waktu dan uang.


Beberapa pertanyaan sehubungan dengan koleksi perpustakaan masjid perlu direnungkan. Misalnya, Apakah isi koleksinya sesuai dengan ajaran Islam? (Tentunya koleksi yang selaras dengan ajaran Islam yang dipilih); Apakah koleksi tersebut benar-benar dibutuhkan oleh para pemakai (khususnya jama'ah masjid)? Apakah materi dalam koleksi itu faktual, akurat, dan up-to-date? Apakah jenis koleksinya memenuhi tingkat umur pemakai, misalnya untuk anak-anak, muda-mudi, dan dewasa? Apakah penampilan koleksi menarik pemakai untuk membacanya? Apakah kondisi keuangan memungkinkan untuk membeli buku-buku koleksi? Apakah memerlukan bantuan pihak lain dalam memenuhi koleksi? dan sebagainya.


Manajemen perpustakaan masjid sering menjadi masalah, baik manajemen koleksi, keluar-masuk buku, maupun pengelolanya. Manajemen koleksi mencakup pengelolaan ilmu dan penempatan koleksi pada perpustakaan masjid. Pengelolaan ilmu dalam perpustakaan masjid dilakukan dengan pembagian (klasifikasi) koleksi dan pemberian kode-kode pada masing-masing koleksi, sehingga memudahkan para pemakai dalam membedakan dan mencarinya.


Dalam hal ini, Ziauddin Sardar (buku: Islam: Outline of a Classification Scheme, 1979) memberi contoh detail klasifikasi ilmu dalam agama Islam. Dia membaginya dalam empat besar: Pre-Main Classes, Main Classes, Post Classes, dan Auxiliary Schedules. Dalam bagian pertama, dia mengklasifikasi agama secara umum (sebelum Islam), yaitu agama (A), agama pra-Judaisme (B), Judaisme (C), dan (D) Kristen. Pada bagian kedua (klas utama), dia membagi dalam 16 bagian seperti Islam (E), al-Quran (F), al-Hadits (G), Muhammad (H), Iman (I), Filsafat (J), dan seterusnya sampai V (Isu aktual). Dalam bagian ketiga dia membagi menjadi tidak : kelompok/aliran minoritas (W), aliran filsafat masa kini (X), dan masalah lain (Y).
Pada bagian terakhir dia menyebutkan waktu (1), geografis (2), bahasa (3), dan bibliography (4). Masing-masing bagian tersebut di atas dibagi-bagi lagi ke yang lebih detail. Masing-masing bagian yang lebih detail itu diberi kode-kode khusus, sesuai dengan klasifikasinya. Jenis klasifikasi lain adalah Universal Islamic Classification, yang ditulis oleh Ghaniul Akram Sabzwari (Pakistan Library Bulletin 13(2), 1982, p.1-20).


Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah: daftar koleksi harus ada, buku catatan peminjaman (keluar-masuk buku dan peminjam) harus dibuat, demikian juga kartu peminjaman koleksi perpustakaan masjid. Penempatan koleksi harus menunjukkan kerapian, kebersihan, keteraturan, dan klasifikasi yang tepat, sesuai dengan apa yang telah diajarkan dalam agama Islam.


Untuk membangun dan mengembangkan perpustakaan masjid, pengurus (takmir) masjid harus membentuk satu komite yang terdiri dari beberapa orang untuk mengurus perpustakaan. Anggota komite harus memenuhi beberapa persyaratan: misalnya, harus bersedia meluangkan waktunya di jalan Allah (melayani jama'ah masjid), mempunyai pengetahuan dan atau ketrampilan dalam mengelola perpustakaan, bersedia mempromosikan dan mengembangkan perpustakaan masjid, mempunyai motivasi Islam yang kuat, dan tentunya berakhlak mulia.


Pemakai perpustakaan masjid secara khusus adalah para jama'ah masjid. Kaum muslimin yang tinggal di sekitar masjid hendaknya menjadi anggota wajib. Walaupun demikian, perpustakaan masjid seyogyanya membuka kemungkinan bagi non-muslim untuk memakainya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai Rahmatan-lil-aalmiin, Islam sebagai rahmat bagi seluruh isi alam semesta.


Masalah keuangan sering menjadi kendala utama, terlebih di negara-negara yang sedang berkembang (yang mayoritas penduduknya muslim). Sebenarnya uang bukanlah segalanya. Kaum muslimin hendaknya bertolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Organisasi-organisasi (yang mengaku Islam), orang-orang kaya (yang mengaku Islam), dan orang-orang pandai (yang mengaku Islam) hendaklah mendukung pembangunan dan pengembangan perpustakaan masjid, hendaklah menyumbangkan tenaga, pikiran, maupun uang untuk jalan kebaikan itu. Selain itu, tentunya pengurus masjid juga berusaha melahirkan aktifitas produktif sebagai sumber keuangan perpustakaan masjid.



Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
Reblog this post [with Zemanta]
•18:40
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-73)
Jum’at, 23 Oktober 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


PERPUSTAKAAN YANG ISLAMI (2) - Koleksi

Pada seri yang lalu dibahas tentang pustakawan (librarian). Pada seri kali ini dibahas tentang bahan pustaka atau koleksi perpustakaan. Koleksi Islami di dalam perpustakaan adalah koleksi dalam bentuk apa pun (printed or non printed collection) yang dapat mengingatkan, mendekatkan, mendorong untuk mentaati, dan menguatkan iman kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Jadi, koleksi Islami di dalam perpustakaan tidak hanya berkaitan dengan al-Quran, al-Hadits, aqidah, ibadah, akhlaq, tasawuf, bahasa Arab, fiqh, sejarah Islam, dsb-dsb, tetapi juga koleksi apa pun (misalnya koleksi dalam ilmu Antropologi, Astronomi, Bahasa, Biologi, Ekonomi, Fisika, Geografi, Geologi, Hukum, Kimia, Matematika, Politik, Psikologi, Sosiologi, Teknologi, dsb-dsb.), yang tentunya koleksi-koleksi tersebut harus dapat mengingatkan, mendekatkan, mendorong untuk mentaati, dan menguatkan iman kepada Allah swt dan Rasul-Nya, yang walaupun juga tergantung pemakai koleksi tersebut. Kebaikan-kebaikan untuk koleksi perpustakaan merupakan ajaran Islam yang harus diimplementasikan, seperti koleksi itu harus memberi nilai positif, benar, lengkap, bersih, rapi, memuaskan pemakai, dsb-dsb.


Koleksi perpustakaan harus bernilai positif, yaitu koleksi yang memberi manfaat atau nilai tambah yang baik kepada seseorang. Koleksi perpustakan harus berguna untuk mengingatkan hal-hal yang baik dalam diri manusia sebagai mahluk individu maupun sosial. Misalnya, koleksi perpustakaan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan seseorang yang sesuai dengan bidangnya, dapat mendorong untuk berbuat baik kepada siapa pun, dapat bertahan dan bersabar dalam menghadapi problem hidup, dapat meningkatkan ekonomi dan karier, dsb-dsb. Nilai positif ini harus merujuk ke Dzat yang Maha Positif (Maha Baik) yaitu Allah ar-Rahmaan ar-Rahiim. Nilai positif ini bisa merujuk ke pemikiran manusia, asalkan manusia itu positif atas bimbingan Allah swt dan Rasul-Nya.


Koleksi perpustakaan harus benar, artinya harus valid, jujur, sesuai kenyataan yang ada. Sifat benar ini juga harus merujuk ke Dzat yang Maha Benar yaitu Allah al-Haq. Kebenaran itu bersumber dari Allah al-Haq sebab Dia-lah hakekat Pemilik kebenaran. Manusia dapat menghasilkan kebenaran sejauh dia mengikuti kebenaran Allah al-Haq yang terungkap di dalam kitab suci (ayat kitabiah/quraniah) dan alam semesta (ayat kauniah). Oleh karena itu, koleksi yang benar adalah koleksi yang dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu koleksi yang dapat mengingatkan, mendekatkan, mendorong untuk mentaati, dan menguatkan iman kepada Allah swt dan Rasul-Nya.


Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Hendaklah kamu semua bersikap jujur (benar), karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai seorang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa sifat kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong” (HR Bukhari).

Koleksi perpustakaan yang lengkap adalah koleksi yang dapat memenuhi kebutuhan para pemakai perpustakaan. Sifat lengkap dalam konteks ini memang relatif, artinya menurut si A (kelompok A) sudah lengkap tetapi menurut B belum, dan menurut C tidak lengkap. Kelengkapan koleksi dapat ditentukan dengan kemampuan perpustakaan dan disiplin ilmu para pemakai perpustakaan atau sifat (jenis) perpustakaan itu sendiri.


Koleksi Islami di dalam perpustakaan merupakan koleksi yang tertata secara teratur, rapi dan bersih dari kotoran-kotoran, karena keteraturan, kerapian dan kebersihan memang diajarkan dalam Islam. Penataan koleksi dapat didasarkan pada klasifikasi koleksi yan dipakai di perpustakaan, seperti DDC (Dewey Decimal Classification), UDC (Universal Decimal Classification), dsb. Penataan yang teratur, rapi, dan bersih akan memudahkan pemakai untuk mencarinya, sehingga mereka akan senang dan puas. Memuaskan dan menyenangkan orang lain juga diajarkan dalam Islam, sehingga memperoleh pahala dari Allah swt.


Bagian penting dalam librarianship (kepustakawanan) adalah sifat pustaka, yang menjadi bahan olahan pekerjaan para pustakawan. Pustakawan harus memperhatikan sifat (kriteria) bahan pustaka (buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya) yang dibutuhkan oleh para pemakai perpustakaan seperti siswa, guru, mahasiswa, dosen, peneliti, dan sebagainya. Peranan bahan pustaka dalam kehidupan masyarakat tidak diragukan lagi. Ia berperan sebagai media (perantara), properti (kekayaan), pencipta suasana, dan sebagai sumber untuk memperkaya diri. Ia dapat mengarahkan, mendorong, mengajak, dan memberi pandangan serta penilaian terhadap sesuatu hal. Bahan pustaka adalah kekayaan yang sangat berharga, yang tidak ternilai, karena merupakan sumber ilmu pengetahuan. Ia bisa menciptakan suasana akrab sehingga mampu mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik. Ia mampu mendorong kreatifitas, bahkan dapat menjadi sumber kreatifitas, yang tentunya dengan banyak membacanya.


Tidak semua bahan pustaka menyenangkan. Dengan kata lain, ada orang yang baru membaca judulnya saja sudah tidak tertarik, tetapi juga ada orang yang mampu membaca berlembar-lembar bahkan berbuku-buku. Memang ada beberapa faktor penentu apakah suatu buku itu baik, menarik, dan tepat atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor usia, minat (kebutuhan), kemampuan (ilmu, keterampilan), bisnis, dan penampilan bahan pustaka. Namun demikian, faktor yang paling menentukan adalah faktor minat dan kemampuan pemakai bahan pustaka tersebut. Walaupun begitu, bagi anak-anak (khususnya usia dini) penampilan bahan pustaka (warna cerah, gambar indah, tata letak yang artstik) biasanya menjadi perhatian utama.


Hal-hal yang terkait dengan pelayanan koleksi perpustakaan adalah jenis-jenis pelayanan, sikap pelayanan, metode pelayanan, dan dampak pelayanan. Jenis-jenis pelayanan di perpustakaan antara lain adalah pelayanan peminjaman, baca di tempat, temu balik informasi, konsultasi pemakai (reader adviser), photo kopi, akses internet / CD-ROM, akses audio-visual, dan sebagainya. Pelayanan yang lebih variatif akan lebih disenangi oleh para pemakai perpustakaan, misalnya variasi dalam judul koleksi buku, variasi dalam koleksi CD ROM, dan sebagainya.

Sikap pelayanan akan sangat menentukan apakah para pemakai perpustakaan puas atau tidak. Sikap pelayanan yang dipenuhi dengan senyum, sapa, salam, sopan, dan santun akan sangat menyenangkan dan memuaskan para pemakai perpustakaan. Para pustakawanan hendaknya menghindari sikap pelayanan yang cemberut, cuek, egois, marah, sombong, dan tidak jujur.
Sifat-sifat buruk itulah yang akan menghancurkan perpustakaan.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS al-Hujuraat 49:13)
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu (QS an-Nisaa’ 4:86)

Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
Reblog this post [with Zemanta]
•01:01
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-72)
Jum’at, 16 Oktober 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


PERPUSTAKAAN YANG ISLAMI (1) - Librarian

Perpustakaan yang Islami adalah perpustakaan yang memancarkan ajaran Islam dan nilai-nilainya dalam kehidupan di dunia ini. Karena Islam itu bersifat universal (umum), kebaikan-kebaikan perpustakaan yang dikenal oleh masyarakat umum (yang disebut ma’ruf – kebaikan yang dikenal secara umum) merupakan ajaran Islam. Kebaikan perpustakaan yang dikenal secara umum adalah kelengkapan koleksi, kepuasan pemakai (user satisfaction), keramahan staff terhadap pemakai (user friendly), staff yang professional (professionality), anggaran yang mencukupi, kenyamanan, ketenangan, keamanan, dsb-dsb. Semua kebaikan tersebut diajarkan dalam Islam. Pembahasan pada seri ke-72 ini difokuskan pada sumber daya insani (SDI) perpustakaan, yaitu pustakawan. Bagaimana pustakawanan yang baik? (Pembahasan seri ini berkaitan dengan Pengajian of Dearest Friday seri ke- 34-36, 59-62, 70, dan 71)

Pustakawan yang Islami adalah seorang muslim atau muslimat yang berlatar belakang Imu Informasi dan Perpustakaan, yang dalam pekerjaannya dia selalu memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan nilai-nilainya.
Karena Islam itu bersifat universal, kebaikan-kebaikan seorang pustakawan yang dikenal oleh masyarakat umum merupakan ajaran Islam. Secara umum dikenal bahwa pustakawan hendaknya mempunyai karakter baik yang menunjukkan good PERSONALITY, yang merupakan singkatan dari ;
-
P : Pleasant (menyenangkan, menyedapkan, menyegarkan)
-
E : Eager (berkeinginan besar untuk berkembang dan berprestasi)
-
R : Respect (rasa hormat dan menjaga kehormatan terhadap siapa pun)
-
S : Sense of responsibility (rasa tanggung jawab besar terhadap tugas)
-
O : Objective (obyektif, apa adanya, jujur)
-
N : Neat (rapi dan bersih dalam kerja dan penampilan)
-
A : Accurate (akurat, tepat dalam pikiran dan perhitungan)
-
L : Loyal (setia terhadap pekerjaan dan tempat kerja)
-
I : Intellectual (pandai, cerdas, kuat ingatan, pikiran kreatif)
-
T : Taft (keras dalam bekerja, tangguh dalam usaha)
-
Y : Youthful (berjiwa muda, giat, rasa ingin tahu tinggi, dinamis)

Profesionalitas pustakawanan dapat dilihat salah satunya dari sisi latar belakang pendidikan, baik tingkat diploma, S1, S2, atau S3. Dari sisi latar pendidikan formal, kebanyakan pustakawan Indonesia masih berpendidikan diploma (D3 atau D2), namun sebagian S1, dan sangat sedikit mereka yang berpendidikan S2, dan S3 masih langka. Di Amerika dan Kanada seorang pustakawan biasanya berpendidikan master degree (S2), sedangkan di Inggris pendidikan mereka biasanya bachelor degree (S1) atau master degree (S2). Dalam Wikipedia Encyclopedia (dapat diakses di internet) dinyatakan :
In the United States and Canada, a librarian normally has a one or two-year master's degree
in library and information science
, library science
or information science
(called an MLS, MALIS, MSLS, MIS, MS-LIS, MISt, MLIS, or MILS) from an accredited university. In the United Kingdom and some other countries, a librarian can have a three- or four-year bachelor's degree
in library and information studies
or information science
; separate master's degrees
in librarianship, archive management, and records management are also available.

Karakter pustakawan dapat dilihat dari peranannya. Dalam tulisan berjudul the Library Profession and the Intemet : Implications
and Scenarios for Change (1997), June Abbas menyatakan beberapa peran pustakawan sebagai gerbang baik menuju masa depan maupun masa lalu, yaitu ; sebagai guru atau yang memberdayakan ; sebagai pengelola pengetahuan ; sebagai pengorganisasi jaringan sumber daya informasi ; sebagai penyokong pengembangan kebijakan informasi ; sebagai rekan kerja masyarakat ; sebagai mitra kerja sama dengan penyedia jasa teknologi ; sebagai teknisi perpustakaan ; dan sebagai konsultan informasi.


Keilmuan Pustakawanan

Dalam Kitab Suci al-Quran disebutkan,
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. al-Israa’ 17:36).
Inti ayat ini adalah bahwa orang yang melakukan atau mengikuti sesuatu harus memahami apa yang dilakukan atau diikutinya itu. Dengan kata lain, seseorang harus mempunyai ilmu tentang apa yang dilakukan atau diikuti. Ilmu (berilmu) sebenarnya merupakan inti profesionalisme dan disiplin dalam dunia akademik. Seorang pustakawan yang tentunya bekerja di perpustakaan harus mempunyai ilmu-ilmu tentang apa yang dikerjakan di tempat kerjanya. Ilmu-ilmu bagi pustakawan tersebut dikatakan sebagai five main sciences of librarianship (FMSL – baca ef-em-es-el), yang dijelaskan pada bagian berikut.


A.
Ilmu Nila-nilai (Value Science)

Nilai adalah standar kualitas sesuatu yang menunjukkan baik-buruk, benar-salah, halal-haram, sopan-sitak sopan, dan sebagainya. Pustakawan hendaknya benar-benar menghayati, memahami, dan mengamalkan nila-nilai agama, nilai-nilai moralitas masyarakat, dan nilai-nilai hukum yang berlaku di negaranya. Nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi, seperti nilai kebenaran, keadilan, dan nilai keindahan. Mereka harus taat beribadah, beriman kuat, dan berbudi luhur (akhlaqul-karimah). Dalam hal ini motivasi yang tinggi komunkasi yang baik harus diwujudkan. Tujuan utama ilmu nilai-nilai ini adalah agar manusia menjadi berbudi luhur (akhlaqul-karimah).

Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR Baihaqi); “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq-nya” (HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain disebutkan, “Aku (Abdullah Ibnu Umar) berkata “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahukan siapa di antara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku nanti pada hari kiamat?’ Beliau mengulangi pertanyaan itu dua atau tiga kali. Lalu sahabat-sahabat menjawab, ‘Tentu ya Rasulullah’. Nabi saw bersabda, ‘Yaitu yang paling baik akhlaqnya di antara kalian’” (HR Ahmad).

B.
Ilmu Informasi (Information Science)

Ilmu informasi (information science) yang harus dikuasai oleh para pustakawan mencakup konsep informasi, jenis informasi, kualitas informasi, sumber informasi, dan manajemen informasi. Tujuan utama ilmu ini adalah agar pustakawan mempunyai pengetahuan luas tentang informasi dan kesadaran informasi yang tinggi. Selain itu, mereka harus mampu mengevaluasi/menilai kualitas informasi, benar atau salah, bermanfaat atau tidak.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS al-Hujuraat 49:6).

C.
Ilmu Perpustakaan (Library Science)

Ilmu perpustakaan (library science) adalah ilmu yang mempelajari tentang konsep perpustakaan, jenis perpustakaan, fungsi perpustakaan, manajemen perpustakaan, dan pelayanan perpustakaan. Tujuan utama ilmu perpustakaan adalah agar pustakawan mempunyai wawasan yang luas tentang perpustakaan dan keterampilan kerja yang baik di perpustakaan, baik di bagian pengolahan maupun pelayanan koleksi.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq 96:1-5).

D.
Ilmu Bahasa Inggris (English Science)

Karena tuntutan jaman, pengetahuan dan keterampilan berbahasa Inggris bagi pustakawan menjadi keharusan. Reading comprehension (pemahaman bacaan), dengan penguasaan kosa kata (vocabulary) yang kuat, penerjemahan (translation) yang baik, dan pemahaman tata bahasa (grammar; phrase, clause, sentence) yang mendalam, merupakan bagian utama bahasa Inggris yang harus dikuasai oleh pustakawan. Walaupun demikian, keterampilan menulis (writing), berbicara (speaking), dan mendengar (listening) dalam bahasa Inggris menjadi tuntutan yang sangat perlu. Bagi pustakawan kemampuan berbahasa Inggris ini sangat penting untuk memperlancar kerjanya, seperti dalam pengolahan koleksi, untuk melacak informasi di internet, dan untuk berkomunikasi di dunia internasional.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS al-Hujuraat 49:13)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS ar-Ruum 30:22)

E.
Ilmu Teknologi Informasi-Komunikasi (ICT Science)

ICT
(information-communicaton technology) yang harus dikuasai secara teori maupun praktik oleh pustakawan adalah tentang microsoft word (untuk mengetik), microsoft excel (untuk membuat tabel penghitungan), microsoft power point (untuk membuat bahan presentasi), dan internet (browsing, e-mail). Pustakawan juga harus terampil melacak informasi secara online seperti browsing di internet atau di CD-ROM (compact disc read only memory). Selain itu, pustakawan juga harus mampu mengoperasionalisasikan program otomasi perpustakaan (library software) di tempat kerjanya. Dengan ICT manusia dapat menembus penjuru permukaan bumi untuk melacak informasi di perpustakaan mana pun.

Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (QS ar-Rahmaan 55:33).



Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
Reblog this post [with Zemanta]
•22:28
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-71)
Jum’at, 9 Oktober 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


KAMPUS YANG ISLAMI

Untuk menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan mere­baknya teknologi informasi, peran Perguruan Tinggi (PT) harus lebih dioptimalkan. Perguruan Tinggi dalam segala bentuknya, seperti universitas, institut, sekolah tinggi, atau akademi, harus memainkan peranan yang lebih optimal sebagai wadah untuk memanusiakan manusia, lahan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, penggerak pembangunan bangsa, pemantau dinamika masya­rakat, dan sebagai pemberdaya masyarakat. Jika dipersingkat, peranan-peranan tersebut menyangkut tiga hal (Tri Darma Perguruan Tinggi), yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Perguruan Tinggi Islam (PTI), khususnya, mengemban tugas yang lebih berat karena ia tidak hanya memainkan peranan-peranan tersebut di atas tetapi juga harus merefleksikan keislamannya dalam dimensi kongkrit. Hal ini menjadi konsekuensi logis PTI. PTI dituntut untuk mengembangkan pendidikan dan proses belajar-mengajar agar mencapai tujuan pendidikan. Pengembangan iptek merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai pemberdaya masya­rakat, PTI juga dituntut untuk menyumbangkan "kekayaannya" kepada masyarakat. Refleksi islami harus dilakukan oleh PTI melalui berbagai hal seperti tujuan pendidikan, kurikulum, sarana bela­jar, kepribadian person, kegiatan kampus, pakaian, dan sebagai­nya.

Strategi pengembangan kampus yang islami (PTI) melibatkan aspek-aspek fundamental seperti etos kerja (juga etos belajar), kepemimpinan, situasi-kondisi ilmiah, dan refleksi islami. Aspek-aspek tersebut sulit dikembangkan jika akar permasalahan PTI tidak ditemukan. Pada era sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan Islam menghadapi beberapa krisis seperti krisis konseptual, kelembagaan, pemikiran, metodologi, orientasi, dan krisis person­al. Namun demikian, akar permasalahan dalam pengembangan kampus yang islami adalah krisis personal dan krisis kelembagaan.

Krisis personal adalah problem sumber daya manusia (SDM). Problem ini dapat dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Segi kuantitas menyangkut jumlah, dalam hal ini adalah jumlah karyawan, dosen, ataupun mahasiswa. Kuantitas tersebut sering menjadi problem; Misalnya, jumlah mahasiswa yang sedikit akan mengurangi income universitas. Contoh lain, jika jumlah pegawai perpustakaan universitas kurang memadai, maka proses mulai masuk­nya buku (acquisition) sampai buku di rak siap dipinjam (shelv­ing) akan memakan waktu yang lama, berbulan-bulan, bahkan setahun lebih.

Kualitas manusia, yaitu kualitas dosen, karyawan, ataupun mahasiswa tidak kalah penting. Mereka penghuni kampus, mereka "menghidupkan" kampus. Segi kualitas mencakup kompetensi dalam bidangnya, kemampuan berbahasa asing (terutama bahasa Arab dan Inggris), kepekaan terhadap lingkungan, dan kemampuan berpikir kritis/kreatif. Seorang pemimpin di dunia kampus hendaknya juga memenuhi kualitas dimaksud. Jika kualitas tersebut kurang diper­hatikan, maka permasalahan akan selalu muncul. Misalnya, jika kemampuan dosen dalam berbahasa asing kurang, maka mereka akan kesulitan memahami textbooks berbahasa asing atau mereka akan tersingkir dalam persaingan untuk studi lanjut ke luar negeri.

Krisis kelembagaan dalam pendidikan Islam merupakan problem yang menyangkut manajemen (personel, pekerjaan, dan keuangan), refleksi islami, kepemimpinan, dan situasi-kondisi lembaga pada umumnya. Dalam manajemen personel, misalnya, rekruitmen karyawan atau dosen yang didasarkan pada sistem famili atau koneksi, tidak didasarkan pada skill, akan menjadi krisis. Hal ini jelas akan merusak tatanan kerja, sebab mereka yang melalui koneksi mungkin tidak ahli dalam pekerjaannya, sehingga atasan perlu "mendidik­nya" yang tentu akan menambah waktu dan biaya. Pengurusan yang terlalu birokratis, alur komunikasi yang tidak jelas, aturan main yang tidak transparan, dan job distribution yang simpang siur juga merupakan bentuk krisis kelembagaan.


Solusi-solusi


Solusi terhadap problem (krisis-krisis) tersebut berkaitan dengan berbagai hal, yaitu:


1. Etos Kerja
(Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-54”)

Seorang muslim harus mampu menunjukkan dan membuktikan etos kerja yang positif. Beberapa ciri etos kerja positif adalah mempunyai tujuan/sasaran yang jelas, spirit kerja yang tinggi, planning yang mantap, teguh berdisiplin, kesadaran unit, tanggung jawab, profesional, kreatif/dinamis, dan evaluasi.

Tujuan kerja (‘amal) adalah ridho Allah (the pleasure of Allah). Tujuan (cita-cita) mencakup dua tujuan yaitu kebahagiaan dunia (jangka pendek) dan kebahagiaan akhirat (jangka panjang). Orang yang beriman menggunakan agamanya (titik pandang Ilahi, the divine point of view) sebagai sumber inspirasi kerja, akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, (QS 28:77 ; 16:97).

Bagi seorang muslim, spirit kerja harus didasarkan pada peribadatan (pengabdian) kepada Allah, sehingga suatu kerja dapat bernilai ibadah (QS 2:21 ; 51:56). Oleh karena itu, aturan-aturan kerja harus sesuai dengan apa yang diridloi oleh Allah. Kerja harus dilandasi dengan semangat pengabdian, keikhlasan, pengorbanan, dan profe­sional. Spirit kerja tidak semata didorong dengan semangat mate­rialisme, sebab materialisme dapat menghantarkan manusia ke arah egoisme, rakus, monopoli, dan kolusi.

Rencana belajar dan kerja harus benar-benar matang dan mantap. Pelajaran masa lalu dan kenyataan masa kini dipertimbangkan dengan masak untuk kebaikan masa depan (QS 59:18).

Disiplin kerja meliputi disiplin aturan, disiplin waktu, dan disiplin profesional. Disiplin aturan mengacu pada ketaatan pada aturan-aturan yang telah ditentukan. Disiplin waktu menunjukkan ketepatan waktu dalam suatu aktifitas misalnya meeting. Disiplin profesional ialah link and match antara keahlian dan pekerjaan yang dihadapi (QS 17:36 ; 18:23-24 ; 61:2-4).

Kesadaran unit ialah sense of belonging unit kerjanya, merasa dalam satu sistem yang harus bersatu dan bekerja sama. Dengan demikian, masing-masing person dalam unit itu tidak beker­ja sendiri-sendiri. Jika rasa ini ditumbuhkan maka pencapaian tujuan atau target kerja akan mudah diwujudkan (QS 5:2 ; 9:71).

Kerja (‘amal) akan dipertanggung-jawabkan baik di dunia maupun di akhirat; Di dunia bertanggung jawab pada atasan, masya­rakat, atau negara; sedang di akhirat bertanggung jawab kepada Allah swt. Kita akan bertanggung jawab atas bagaimana bekerja dan apa hasil kerjanya (QS 9:105 ; 16:93).

Suatu kerja harus dilakukan secara profesional, artinya dikerjakan sesuai dengan keahliannya. Dengan kata lain, jika seseorang melakukan suatu kerja maka dia harus memahami apa yang dia kerjakan (Q.S. 17:36,84). Suatu kerja hendaknya dilakukan dengan penuh kreativitas dan dinamis, sebab kreativitas akan memunculkan suatu output baru yang akan berkembang, sedangkan dinamis akan menunjukkan kerja yang keras (sungguh-sungguh) (QS 94:7-8). Evaluasi merupakan hal yang sangat penting dalam suatu kerja. Hal ini akan menemukan kekurangan sekaligus kelebihan. Kekurangan untuk diperbaiki, sedang kelebihan untuk dipertahankan dan ditingkatkan (Q.S. 30:42 ; 59:18).

2. Kepemimpinan
(Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-38, 39, 40”)

Shalat jama'ah merupakan simbol atau miniatur kehidupan masyarakat. Imam shalat dianalogikan dengan pemimpin masyarakat, sedangkan makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat. Shalat jama'ah mempunyai aturan-aturan tertentu, masyarakat pun mempun­yai aturan. Mekanisme shalat jama'ah menggambarkan mekanisme kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan (termasuk tiga faktor di atas) digambarkan dengan bagus sekali dalam ajaran shalat, teru­tama shalat jama'ah. Shalat jama'ah mengajarkan hubungan antara atasan (imam) dan bawahan (makmum); Imam bertugas memimpin, mengarahkan, dan memberi contoh, sedangkan makmum mengikuti imam (pemimpinnya) selagi dia dalam kebenaran. Jadi, struktur tugasnya jelas. Kejelasan ini juga disimbolisasikan dengan shof (barisan) shalat yang lurus dan rapat. Posisi seorang imam adalah kuat, tetapi jika imam "batal" (telah menyimpang dan tidak disenangi makmum/bawahan) maka kekuatannya akan hilang.

Gerakan shalat dapat menggambarkan simbol kepemimpinan yang ideal. Kepala yang di dalamnya terdapat otak menjadi koordinator (pemimpin) aktifitas tubuh manusia. Saat shalat kepala harus bergerak di atas (saat berdiri), di tengah (saat ruku' dan duduk), dan di bawah (saat sujud). Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan seluruh rakyatnya, baik masyarakat kelas bawah, menengah, maupun atas. Dia seharusnya dapat bermusyawarah dengan rekan (rakyat)-nya di kalangan atas dengan demokratis. Dia seharusnya melihat keadaan dan mendengar suara rakyat kelas menengah. Dia juga seharusnya "turun ke bawah" untuk memperhatikan keawaman dan kemiskinan rakyat bawah, untuk mendengarkan rintihan dan usulan wong cilik, dan untuk memikirkan pemecahan problematika mereka.

3. Situasi-kondisi Ilmiah (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke-36, 43-53, 55, 57-62”).

Situasi dan kondisi ilmiah di kampus adalah situasi dan kondisi kampus yang benar-benar mencerminkan suasana yang berda­sar ilmu, yaitu yang bersistem, beraturan, dan "sejuk". Situasi dan kondisi tersebut dapat diciptakan melalui sarana, kegiatan, dan kualitas SDM yang baik.

Sarana yang dimaksud adalah sarana yang mendukung tercipta­nya iklim ilmiah, misalnya perpustakaan, laboratorium, gedung pertemuan untuk seminar, majalah atau koran kampus, dan lembaga-lembaga ilmiah seperti Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (LPPI), Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), tim-tim peneliti, kelompok-kelompok studi, dan sebagainya. Sarana-sarana tersebut perlu digunakan secara optimal agar tercipta iklim ilmiah kampus yang sejuk.

Kegiatan-kegiatan penelitian, penerbitan, seminar, diskusi, bedah buku, kursus bahasa asing, lomba karya tulis, dan sebagai­nya perlu ditumbuh-kembangkan di kampus, baik untuk konsumsi mahasiswa, dosen, karyawan, maupun masyarakat umum. Kampus yang tidak giat dengan aktifitas-aktifitas tersebut adalah "kampus mati". Hal ini karena universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

SDM yang berkualitas baik akan mendukung terciptanya iklim ilmiah di kampus. Merekalah yang menggerakkan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian dan seminar. Misalnya, seorang dosen/karyawan yang berkualitas baik dalam bahasa asing dapat dimanfaatkan untuk mengelola laboratorium bahasa secara optimal dan menggerakkan kursus bahasa asing. Seorang pakar tentunya akan memeriahkan kegiatan seminar atau diskusi.

4. Refleksi Islami (Lebih detail baca “pengajian PDF seri ke- 4-10, 31-35”)

Perguruan Tinggi Islam adalah suatu lembaga pendidikan yang harus merefleksikan keseluruhan ajaran Islam (Q.S. 2:208). Refleksi islami ini mencakup tujuan pendidikan, kurikulum, sarana belajar, kepribadi­an person, pakaian, kegiatan kampus, dan sebagainya.

Tujuan pendidikan di PTI tentunya harus membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah, yaitu manusia yang memainkan peranan sebagai abdullah dan khalifatullah dengan baik, serta dapat merealisasikan misi Rasulullah sebagai rahmatan lil-'aalamiin. Hal ini harus didukung dengan kurikulum yang islami. Tidak ada dualism "pendidikan agama" dan "pendidikan umum". Bidang studi kedokteran, teknik, ekonomi, hukum, dan ilmu lain yang dianggap "umum" harus dimasuki roh/nilai Islam. Integrasi antara Islam dan iptek sangat perlu dilakukan. Tujuan pendidikan tersebut juga harus ditopang dengan sarana belajar yang memadai, seperti adanya perpustakaan yang memadai, masjid/mushola yang aktif dan buku-buku tentang Islam.

Kepribadian seluruh sivitas akademika, seperti mahasiswa, karyawan dan dosen, harus benar-benar mencerminkan kepribadian yang islami. Pemikiran, tingkah laku, sikap terhadap orang lain, dan pakaian harus dipandu oleh ajaran Islam. Mahasiswa atau oknum dosen yang menyalahgunakan narkoba, misalnya, bukan merupakan refleksi islami. Mahasiswa yang curang (“ngepek”) saat ujian bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Dosen materialis yang bertransaksi jual-beli nilai bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Pakaian yang ketat dan membuka aurat bukan merupakan refleksi islami. Permusuhan (antar mahasiswa atau dosen dan mahasiswa) bukan refleksi islami. Pelacuran ilmu atau jabatan bukan refleksi islami. Manipulasi, korupsi, dan suap finansial di kampus juga bukan merupakan refleksi islami.

Kegiatan-kegiatan di kampus juga harus mendukung tujuan pendidikan. Kajian-kajian ajaran Islam, seminar suatu disiplin ilmu yang bernuansa islami, penelitian-penelitian, aktifitas mahasiswa, sampai proses belajar-mengajar harus merupakan reflek­si islami. Misalnya, mengawali dan mengakhiri kegiatan kuliah dengan berdoa, mengaktifkan kajian Islam di masjid, menggerakkan shalat berjama'ah (terutama shalat dluhur) di masjid, menggiatkan pengajian karyawan/dosen, dan sebagainya.


Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
Reblog this post [with Zemanta]
•02:00
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-70)
Jum’at, 2 Oktober 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


AJARAN ISLAM TENTANG IPTEKS DAN PEMBANGUNAN

Secara etimologis, kata ‘Islam’ berasal dari kata aslama yang berarti menyerahkan diri (tunduk, patuh) dan dari kata salima yang berarti selamat. Islam adalah sikap tunduk, patuh, menyerahkan diri kepada Allah, Sang Pencipta alam, sehingga selamat di dunia dan akhirat. Pengertian ini berlaku untuk semua mahluk, tidak hanya manusia.

Secara terminologis, agama Islam adalah sistem aturan kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh aspek kehidupan yang bersifat keyakinan, penalaran, akhlak, dan pengamalan, yang sistem itu dibangun di atas ketaatan dan keikhlasan untuk menghambakan diri kepada Allah swt. semata. Islam tidak sebatas pada ajaran ritual tetapi sampai ke hal yang aktual di seluruh aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, kesehatan, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan sebagainya.

Sebagai agama yang integratif dan universal, Islam mencakup semua aspek kehidupan dan berlaku bagi seluruh isi alam. Bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pertahanan-keamanan, teknologi, kesenian, dan bidang-bidang lain diatur dalam agama Islam. Islam memberi petunjuk kepada manusia bagaimana berilmu, berteknologi, dan berkesenian, serta bagaimana membangun suatu negara.

Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni/kesenian) tidak lepas dari pandangan agama Islam. Menurut Islam, ilmu (ilmu pengetahuan) berfungsi sebagai jiwa agama, tiang iman dan bekal kehidupan dunia-akhirat. Maksud ilmu sebagai jiwa agama adalah bahwa ilmulah yang menjadikan agama hidup sehat. Orang yang beragama harus berilmu karena seluruh amal perbuatan ibadah kelak dipertanggung-jawabkan kepada Allah swt. Amal apa, mengapa beramal, bagaimana beramal, dan untuk apa beramal adalah hal-hal yang akan ditanyakan oleh Allah swt. kelak. Seseorang tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kecuali jika dia berilmu.

Maksud ilmu sebagai tiang iman ialah bahwa iman harus ditopang dengan ilmu, artinya seseorang tidak boleh sekedar beriman (percaya) tetapi juga harus mengetahui mengapa percaya, bagaimana percaya, dan untuk apa percaya. Islam tidak memperkenankan seseorang hanya meyakini atau mempercayai saja, hanya ikut-ikutan (taklid), tanpa berilmu tentang apa yang dipercayai.

Dalam suatu hadits, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Ilmu adalah ruh (jiwa) agama Islam dan tiang iman; Siapa yang mengajar ilmu Allah akan menyempurnakan pahalanya, siapa yang belajar ilmu kemudian mengamalkan Allah akan mengajarkannya apa-apa yang tidak ia ketahui”.

Dalam hadits lain, beliau juga bersabda, “Barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia maka wajib atasnya untuk mengetahui ilmunya, dan barang siapa menghendaki kebahagiaan akhirat maka wajib baginya untuk mengetahui ilmunya, dan barang siap menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia-akhirat) maka wajib baginya untuk mengetahui ilmunya.”

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ilmu berfungsi sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Orang yang ingin mencapai kebahagiaan di dunia, seperti memperoleh pekerjaan, memperoleh uang dan harta yang cukup, keberhasilan studi, keberhasilan karier, dan sebagainya, maka dia harus mempunyai ilmu. Misalnya, orang yang akan melamar pekerjaan di suatu kantor harus berilmu dengan simbolisasi ijasah sekolah.

Ilmu juga sebagai bekal hidup di akhirat. Artinya, jika seseorang ingin masuk surga maka dia harus mengetahui ilmunya, yaitu dengan Iman, Islam, dan amal sholeh. Dalam hal ini orang tersebut harus mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa dia beriman, berislam, dan beramal. Agama Islam memerintah pemeluknya untuk melakukan sesuatu dengan ilmu (amal ilmiah). Orang-orang yang berilmu harus mengamalkan ilmunya (ilmu amaliah).

Allah swt. berfirman, yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. al-Israa’ 17:36). Ayat tersebut merupakan dorongan agar manusia mencari ilmu pengetahuan agar kelak dapat bertanggung jawab.

Teknologi yang digambarkan sebagai peralatan modern, seperti kendaraan bermotor, pesawat, komputer, televisi, dan sebagainya, merupakan hasil pengamalan suatu ilmu seperti ilmu matematika, fisika, mesin, auronatika, elektronika, dan sebagainya. Dengan kata lain, penerapan suatu ilmu (terutama ilmu alam) akan menghasilkan sarana (peralatan) yang dipakai manusia untuk bekerja secara efektif dan efisien, dalam bentuk teknologi informasi, teknologi komunikasi, teknologi transportasi, teknologi kedokteran, dan sebagainya.

Ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan teknologi antara lain adalah QS. 16:68-69, 21:79-81, 55:33, 56:68-74, 57:25, 96:1-5. Allah berfirman swt., yang artinya, “Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu. Maka hendaklah kamu bersukur kepada Allah” (QS. al-Anbiyaa 21:80). “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (QS. ar-Rahmaan 55:33).

Islam mendorong manusia untuk mewujudkan ilmu amaliah (ilmu yang diamalkan/diterapkan). Penerapan ilmu alam akan menghasilkan teknologi. Dengan demikian Islam mendorong manusia untuk menciptakan, memakai, dan mencintai semua jenis teknologi. Dalam hal ini Islam memberi nilai-nilai pada penciptaan dan pemakaian teknologi sehingga teknologi tidak berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Misalnya, sebagaimana disebutkan ayat al-Quran di atas (QS. 55:33), bahwa manusia didorong untuk melintasi penjuru langit dan menerobos penjuru bumi. Untuk itu manusia memerlukan ilmu pengetahuan seperti Fisika, Matematika, Kimia, Astronomi, Geologi, Biologi, dan sebagainya, dan juga memerlukan peralatannya (teknologinya). Nilai-nilai Islami yang diterapkan pada kegiatan pengembaraan angkasa luar dan eksploitasi bumi akan menghindarkan dari kerusakan lingkungan alam.

Kesenian merupakan ekspresi manusia tentang nilai estetis (keindahan) dalam bentuk suara, gambar, tulisan, benda, dan sebagainya. Kesenian dapat berujud seni kaligrafi, seni lukis, seni musik, seni pahat, seni patung, seni puisi, seni suara, seni tari, dan sebagainya. Kesenian sering disamakan dengan kebudayaan, atau orang sering mengganggap bahwa kebudayaan adalah kesenian, seorang budayawan ialah seorang seniman. Anggapan tersebut kurang benar karena kesenian merupakan salah satu dari unsur kebudayaan.

Agama Islam tidak melarang manusia untuk berkesenian asalkan tidak melanggar aturan-aturan agama. Hal ini karena Tuhan yang Maha Indah adalah pencipta keindahan dan Tuhan mencintai keindahan. Ekspresi nilai estetis merupakan fitrah (bawaan dasar) manusia, artinya setiap orang menginginkan keindahan, seperti seorang wanita yang suka bersolek dan seorang laki-laki yang menginginkan pakaian rapi.

Islam memberi nilai-nilai agama agar dalam kesenian tidak melanggar aturan agama, sesuai dengan fitrah manusia, dan memberi manfaat kepada manusia. Kesenian tidak dibenarkan jika melanggar ajaran agama, misalnya berkesenian lalu melupakan shalat, berkesenian dengan pakaian yang memamerkan aurat, dan berkesenian dengan melupakan, melalaikan, bahkan melecehkan Tuhan yang Maha Kuasa. Seni lukis yang menggambarkan Allah swt. atau Nabi Muhammad saw. sangat dilarang agama. Seni tari yang memamerkan tubuh (aurat), apalagi tari telanjang, sangat dilarang agama.

Pembangunan adalah upaya dalam berbagai bidang untuk mengubah keadaan masyarakat menjadi keadaan yang lebih baik, yang direncanakan dengan baik. Pembangunan juga berarti perkembangan dan pertumbuhan menuju ke hal yang lebih tinggi atau lebih baik. Jika suatu proses berjalan menuju ke hal yang buruk dan merusak, maka hal itu bukanlah pembangunan tetapi perusakan; Misalnya, penggundulan hutan, tanpa upaya reboisasi lebih lanjut, dapat mendatangkan bahaya tanah longsor, banjir, dan pengurangan habitat hutan. Namun, jika penebangan hutan dilakukan untuk suatu hal yang bermanfaat, dan kemudian dilanjutkan dengan reboisasi intensif, maka hal tersebut merupakan pembangunan.

Islam melihat pembangunan, dalam arti pertumbuhan dan perkembangan positif, sebagai sesuatu fitrah alam. Dengan demikian proses pembangunan masyarakat merupakan fitrah manusia. Dengan kata lain, manusia memerlukan perubahan-perubahan sosial yang direncanakan untuk menuju ke hal yang lebih positif, yang tidak menimbulkan kerusakan di bumi. Islam memberikan nilai-nilainya ke dalam pembangunan agar terhindar dari kerusakan. Allah swt. berfirman, yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS al-Qashash 28:77).

Dalam pembangunan bidang pendidikan, misalnya, Islam mewajibkan manusia untuk mencari ilmu, dan bahkan mencinta serta mengamalkannya. Anak-anak dididik agar menjadi orang yang berakhlak mulia serta berbakti kepada Allah swt., Rasul-Nya, dan orang tua. Nabi Muhammad saw. bersabda dalam suatu hadits, yang artinya, “Carilah ilmu walaupun di negeri China” (HR. Ibn ‘Adi dan Baihaqi); “Jadilah kamu orang yang mengajar atau belajar atau pendengar (mendengarkan ilmu) atau pecinta (mencintai ilmu), dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima (tidak mengajar, tidak belajar, tidak mendengarkan, dan tidak mencintai ilmu), maka kamu akan hancur” (HR. Baihaqi); “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara pendidikan: (1) Mencintai Nabimu (Nabi Muhammad saw.) ; (2) Mencintai ahlul bait beliau ; (3) Pandai membaca al-Quran, karena sesungguhnya pembaca al-Quran itu nanti akan memperoleh perlindungan Allah, di saat mana tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah, bersama-sama para Nabi dan orang-orang suci (HR. ad-Dailami).


Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
Reblog this post [with Zemanta]