Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-69)
Jum’at, 25 September 2009
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Jum’at, 25 September 2009
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
FUNGSIONALISASI AJARAN ISLAM
Permasalahan pada era globalisasi yang berupa kemiskinan natural, sosial, maupun spiritual (dan juga kemiskinan material), khususnya di kalangan kaum muslimin, tampaknya terjadi karena disfungsionalnya ajaran Islam dalam kehidupan atau paling tidak kurang berfungsi. Fungsionalitas atau disfungsionalitas ajaran Islam tergantung bagaimana usaha ummat Islam, apakah mereka mau dan mampu menghayati serta mengamalkan ajaran agamanya atau tidak. Secara ideal ajaran Islam yang berasal dari Allah itu sangat fungsional.
Mengacu pemikiran antropolog Bronislaw Malinowski, bahwa fungsionalitas sesuatu tergantung pada kemampuan memenuhi kebutuhan atau manfaatnya, agama Islam pun menunjukkan hal tersebut. Ajaran Islam mampu memenuhi kebutuhan manusia seperti kebenaran, keselamatan, ketentraman, dan kedamaian. Pemenuhan kebutuhan itu ditujukan kepada siapa saja, sesuai dengan universalitas dan obyektifitas Islam. Dengan demikian siapa saja dan di mana saja, baik mahluk biotik maupun abiotik, dapat merasakan kehadiran Islam di muka bumi ini, sebagai rahmatan lil-'aalamiin.
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berarti tunduk, patuh, dan menyerahkan diri. Jadi, Islam adalah ketundukan dan kepatuhan kepada suatu aturan sehingga selamat dan damai. Karena Islam adalah nama agama yang diridloi oleh Allah, ketundukan dan kepatuhan itu harus ditujukan kepada aturan-Nya. Ketundukan dan kepatuhan itu berlaku untuk semua isi alam semesta ini tanpa kecuali. Jika sesuatu keluar dari aturan maka ia tidaklah islami, sehingga tidak akan diterima oleh Sang Pembuat aturan (Q.S al-'Imran 3:19,83,85).
Agama Islam mempunyai kontribusi yang tidak kecil terhadap sistem kehidupan manusia, yaitu struktur sosial masyarakat. Nilai-nilai luhur dalam agama Islam akan mengharmoniskan dan menentramkan kehidupan manusia, sebagaimana keharmonisan alam karena telah "Islam" (tunduk, patuh) pada aturan-Nya. Apabila nilai-nilai Islam diabaikan, maka kehidupan ini akan kacau dan penuh dengan penyimpangan, sebagaimana indikasinya telah tampak pada jaman sekarang ini seperti peperangan, korupsi, prostitusi, judi, dan bentuk kriminalitas lainnya.
Nilai-nilai Islam, misalnya, terdapat dalam ajaran shalat. Dalam shalat terdapat nilai kesucian dan kebersihan (orang shalat harus bersih atau suci badan, pakaian dan tempat sehingga ia harus berwudlu), nilai kedisiplinan baik disiplin waktu maupun disiplin peraturan (orang shalat harus disiplin, dalam arti ia harus melakukan yang seharusnya dilakukan, ia harus tepat waktu serta benar dalam mengerjakan), nilai ketenangan dan konsentrasi (orang shalat harus khusu' dan tawadlu'), nilai konsistensi terhadap prinsip (pada prinsipnya shalat harus dikerjakan dengan gerakan dan bacaan yang sama, ia harus dikerjakan bagaimanapun keadaannya), nilai solidaritas sosial (dalam status sosial apapun orang shalat harus melakukan gerakan dan bacaan yang sama, ini terlihat jelas pada shalat jama'ah), nilai ketaatan pada pemimpin (terlihat jelas dalam shalat jama'ah), dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut harus direfleksikan dalam realitas empirik agar shalat benar-benar fungsional dalam kehidupan.
Ibadah haji juga memberi makna-makna simbolik yang bernilai positif, baik dalam syarat-syarat maupun rukun-rukun haji. Makna-makna tersebut antara lain demokratisasi, solidaritas sosial, kedisiplinan, kebersihan (kesucian), dan keseriusan. Misalnya, simbol pakaian ihram yaitu pakaian putih yang tidak berjahit. Makna simbolik warna putih adalah kesucian, sedangkan "tidak berjahit" berarti tidak perlu dibuat-buat (artifisial), apa adanya, jujur. Semua yang berhaji berpakaian sama, pakaian ihram, sedangkan pakaian dunia seperti kaos oblong, jeans, PSH, safari, jas, dan sebagainya dilepas semua. Artinya, semua status sosial duniawi harus ditinggalkan. Semua sama di hadapan Allah SWT, kecuali taqwanya.
Talcott Parson, sosiolog Amerika, menyatakan bahwa suatu sistem berfungsi jika memenuhi prasyarat fungsional yaitu adaptasi, tujuan, sub-sistem, dan identitas. Sebagai suatu sistem, agama Islam mempunyai prasyarat fungsional. Pertama, Islam mampu beradaptasi pada situasi tertentu namun berpijak pada prinsip yang tetap. Misalnya, shalat dikerjakan dengan berdiri tetapi jika tidak mampu dilakukan dengan duduk, berbaring, atau hanya dengan hembusan nafas. Walaupun demikian, shalat harus dikerjakan.
Kedua, ajaran Islam mempunyai tujuan. Secara keseluruhan ajaran Islam dilaksanakan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S 16:97). Shalat dilakukan untuk mengingat Allah (Q.S 20:14), zakat dilakukan untuk menggalang solidaritas sosial (Q.S 9:60), puasa dilakukan agar menjadi orang yang taqwa (Q.S 2:183),mencari ilmu untuk memperoleh derajat yang tinggi (Q.S 58:11), dan sebagainya.
Ketiga, agama Islam merupakan sistem yang mempunyai subsistem seperti konsep ketuhanan, rasul, kitab suci, ummat, dan ajaran. Sub-subsistem itu harus berintegrasi. Kaum muslimin harus menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya yang dicontohkan oleh Rasul atas dasar iman pada Tuhan, sebagaimana diperintahkan dalam al-Quran.
Keempat, Islam mempunyai identitas yang jelas. Ia dicirikhaskan oleh sistem nilai yang ada padanya, nilai yang sesuai dengan fitrah manusia. Ia sarat dengan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang sakral, normatif, konstruktif, universal, aktual, dan obyektif. Ummat Islam dituntut untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut agar Islam benar-benar fungsional dan aktual dalam masyarakat.
Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com