•02:19
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-52)
Jum’at, 29 Mei 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


TEORI AL-QURAN - BAGAIMANA BERPIKIR?

Manusia adalah khayawanun-nathiq (mahluk yang berakal/berpikir). Al-Quran mengajarkan manusia bagaimana dan dengan apa berpikir. Beberapa metode pemikiran yang dipergunakan dalam kitab suci tersebut adalah kebenaran yang jelas, observasi manusia, pengalaman manusia, kepentingan manusia, dan kesadaran manusia.

Menurut al-Quran, pemikiran manusia harus menggunakan argumen yang berpijak pada kebenaran yang jelas. Contoh kebenaran yang jelas adalah keharmonisan, keteraturan, dan kesatuan alam semesta. Alam ini harmonis, ia terkontrol dengan hukum yang teratur, dan di dalamnya tidak ada konflik. Hal ini menunjukkan keesaan penciptaan yang merefleksikan keesaan pencipta. Jadi, Sang Pencipta adalah Allah yang Maha Esa.

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu ? Sebenarnya mereka tidak meyakini apa yang mereka katakan" (QS. ath-Thuur 52:35-36). "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa..." (QS. al-Anbiyaa 21:22).

Al-Quran sangat mendorong manusia untuk melakukan observasi terhadap isi alam semesta. Dengan observasi manusia dituntut untuk berpikir. Artinya, manusia memikirkan apa saja yang diamati seperti proses kejadian hujan, mewabahnya kemiskinan, timbulnya kebodohan, dan sebagainya.

"Katakanlah, 'perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi...'" (QS. Yunus 10:101). "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya" (QS. 'Abasa 80:24). "Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS. al-Ghaasiyah 88:17-20).

Pengalaman manusia berhubungan dengan observasi. Dengan kata lain, apa yang diamati manusia adalah pengalaman. Pikiran manusia hendaknya memperhatikan pengalaman dalam kehidupan nyata. Dalam hidupnya manusia menemui berbagai pengalaman seperti pengalaman belajar, bekerja, menikah, melahirkan anak, mengalami problem hidup, dan sebagainya.

Sehubungan dengan problem hidup, Islam memberi petunjuk bagaimana manusia memecahkan problem. Jika manusia mengalami problem hidup seperti ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kehilangan orang yang dicintai, dan sebagainya, maka dia harus berlaku sabar. Orang yang sabar adalah orang yang jika terkena musibah maka dia meyakini bahwa sesungguhnya semua ini milik Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Untuk lebih jelasnya, al-Quran surat al-Baqarah ayat 153 - 157 dapat dipelajari.

Pemikiran manusia perlu memperhatikan kepentingannya, apa-apa yang dibutuhkan manusia. al-Quran membimbing manusia untuk berpikir bagai¬mana memenuhi kebutuhan hidup-nya dan mencapai keinginan-keinginannya, baik material maupun spiritual. Al-Quran memerintahkan manusia untuk mencari kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kebutuhan di dunia (QS. 28:77). Ibadah shalat dalam Islam tidak hanya sekedar ibadah ritual tetapi juga mampu memenuhi kepentingan manusia seperti kebersihan, ketenangan, kedisiplinan, standar moral, dan shalat dapat mencegah kemungkaran manusia (QS. al-Ankabut 29:45). Dalam kaitannya dengan wudlu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia yaitu hidup bersih, Allah berfirman, "... Allah tidak hendak menyulitkan kamu tetapi Dia hendak member¬sihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur" (QS.al-Maidah 5:6).

Pemikiran memerlukan kesadaran, wawasan, dan pertimbangan manusia Al-Quran membangun kesadaran dengan memberi banyak contoh; Misalnya, menyadarkan manusia terhadap bahaya fitnah, orang yang memfitnah saudaranya seperti memakan bangkai mayat saudaranya (QS. al-Hujuraat 49:12). Manusia juga disadarkan bahwa kebenaran itu pada hakekatnya datang dari Allah yang Maha Benar (QS. al-Baqa¬rah 2:147 ; al-Imran 3:60) dan jika kebenaran itu lahir dari nafsu manusia maka hancurlah kehidupan manusia (QS. al-Mu'minuun 23:71).

Selain metode-metode di atas, al-Quran juga menawarkan metode pemikiran melalui cerita dan gambaran sejarah hidup suatu bangsa. Metode pemikiran menurut al-Quran melibatkan berbagai aspek manusia seperti pemikiran, perasaan, observasi, pengalaman, kesadaran, imajinasi, dan kepentingannya. Hal ini karena al-Quran tidak hanya bertujuan untuk meyakinkan manusia terhadap kebenaran tetapi juga membuat manusia beramal sesuai dengan kebenarann itu. Al-Quran memasukkan akal sebagai satu kesatuan kepribadian manusia.


Hambatan Pemikiran

Berpikir kreatif dalam prosesnya menemui hambatan-hambatan yang harus dihindari. Hambatan-hambatan tersebut antara lain taklid, dugaan, pemaksaan, hawa nafsu, dan sihir, Taklid ialah tindakan mengikuti sesuatu tanpa mengetahui apa yang diikuti, argumen mengapa mengikuti, dan untuk apa mengikuti. Taklid sering dilakukan terhadap nenek moyang, orang tua, adat-istiadat, dan tradisi leluhur.

Mengikuti berbagai otoritas secara membabi-buta adalah dilarang. Selama mengikuti sesuatu, seseorang harus mengilmui apa yang diikuti. Kriteria yang diikuti adalah kriteria kebenaran, bukan kriteria kerabat, ewuh-pekewuh, ABS (asal bapak senang), ataupun kriteria kepentingan sesaat.

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya" (QS. al-Israa' 17:36).

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul', mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya'. Dan apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk" (QS. al-Maaidah 5:104).

Dugaan merupakan hambatan dalam pemikiran kreatif karena dugaan melahirkan ketidak-pastian terhadap kebenaran. Dugaan ialah mempercayai ide-ide yang tidak diyakini kebenarannya sehingga masih dalam lingkaran ramalan. Islam melarang dugaan yang tidak berdasar sebagai landasan kebenaran. Islam memerintahkan manusia agar merasa yakin dengan penuh pertimbangan, terutama masalah keimanan.

"Dan kebanyakan mereka (orang-orang kafir) tidak mengikuti kecuali dugaan saja. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (QS. Yunus 10:36).

Pemaksaan dalam bentuk apapun, baik secara halus maupun terang-terangan, harus dibuang jauh dari pikiran manusia agar ia dapat mengapresiasikan kebenaran dengan bebas sesuai dengan fitrahnya. Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa dalam agama (Islam) tidak ada paksaan. Dalam hal ini agama merupakan sistem hidup yang komprehensif, yang meliputi seluruh aspek kehidupan seperti iman, akhlaq, hukum, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itu, kebebasan berpikir (berpendapat) sangat dijamin oleh Islam sejauh dapat dipertanggung-jawabkan.

Hawa nafsu yang seharusnya dihindari merupakan keinginan yang tidak rasional karena cenderung membutakan manusia dari kebenaran. Hawa nafsu menghambat dan bahkan merusak pemikiran kreatif. Allah berfirman, "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan mereka tetapi mereka berpaling dari peringatan itu" (QS. al-Mu'minuun 23:71). Selain itu, Allah juga memperingatkan, "Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran" (QS. an-Nisaa' 4:135).

Praktek-praktek sihir maupun perdukunan membahayakan bagi pemikiran kreatif karena ia hanyalah takhayul, palsu, koruptif, dan tidak rasional. Sihir dan perdukunan, menurut Islam, tidak dapat dijadikan sebagai cara yang sah untuk mengetahui kebenaran dan untuk beramal menurut kebenaran. Ketika ahli sihir Fir'aun mengubah tongkat menjadi ular-ular kecil untuk mencelakakan Musa, Allah melindungi dan memenangkan Musa (lihat QS. Yunus 10:81; Thaha 20:69).


Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Alumni Aberystwyth University, UK
Ketua Kibar UK 2009/2010
http://muhstarvision.blogspot.com
|
This entry was posted on 02:19 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: