•17:04
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-42)
Jum’at, 20 Maret 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

MAKNA-MAKNA SIMBOLIK DALAM PERAYAAN SEKATEN

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw memang telah berlalu pada 12 Rabiul Awwal yang lalu, tetapi memperingati (mengingat-ingat) ajaran Nabi saw harus berlangsung selamanya, setiap saat. Kita mengingat-ngingat ajaran nabi tidak hanya bertepatan dengan perayaan maulid nabi, tetapi selamanya. Pada setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Yogyakarta dan Surakarta biasa diadakan perayaan sekaten (yang berasal dari kata syahadatain – dua kalimah syahadat). Perayaan untuk menyambut hari kelahiran Nabi saw tersebut berlangsung dalam beberapa hari, yang dipusatkan di halaman masjid Agung yang berupa alun-alun (lapangan besar di depan masjid Agung). Dalam perayaan tersebut dibunyikan gamelan dari keraton dan (dalam perkembangan hingga sekarang) juga diisi dengan panggung hiburan dan pasar tempat jual-beli berbagai barang.

Barang-barang biasa yang dijual dalam perayaan itu di antaranya adalah kapur-sirih (kinang - Jawa), alat bajak (luku - Jawa), cangkul (pacul - Jawa), alat untuk mencambuk (pecut - Jawa), alat untuk menyimpan uang (celengan - Jawa), dan telur asin (endog kamal - Jawa). Menurut Sunan Kalijaga barang-barang tersebut mengandung makna filosofis yang Islami, yaitu :

A. Kinang atau kapur-sirih, barang ini mengandung lima unsur yang melambangkan lima rukun Islam, yaitu :
  1. Daun sirih melambangkan dua kalimat Syahadat. Sisi bagian atas dan bawah daun sirih berbeda warnanya, namun jika dikunyah sama rasanya. Hal ini berarti bahwa mengucapkan kalimat Syahadat harus dibaca lengkap, tidak boleh hanya Syahadat Tauhid saja atau Syahadat Rasul saja.
  2. Injed (gamping atau kapur), warnanya putih, melambangkan shalat fardhu untuk mendapatkan kesucian, sebagaimana warna putih yang bersih-suci.
  3. Gambir, rasanya sangat pahit, sedikit saja sudah cukup, melambangkan zakat, yang oleh sebagian orang (terutama yang bersifat kikir/pelit) dirasa ’pahit’ karena harus mengeluarkan sebagian harta untuk orang lain.
  4. Susur (tembakau), tidak boleh dimakan, melambangkan puasa (tidak boleh makan dan minum).
  5. Jambe (buah pinang), untuk mendapatkan buah pinang ini sangat sulit sebab harus memanjat pohon pinang yang licin. Hal ini melambangkan haji, yang memang memerlukan perjuangan yang keras lagi sulit.

B. Luku (alat bajak), menurut Sunan Kalijaga, memiliki tujuh bagian yang mengandung falsafah hidup mulia, untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Bagian tersebut adalah:
  1. Gagang luku (buntutan - Jawa) atau tempat pegangan, berarti orang yang ingin mencapai suatu cita-cita harus mempunyai pegangan dan harus berpegang teguh pada bekal yang telah dimiliki. Syahadatain bagi orang Islam merupakan pegangan pokok dalam beramal. Al-Quran dan as-Sunnah adalah pegangan hidup untuk manusia.
  2. Pancadan, mancat (anjakan) artinya bertindak. Maksudnya, jika telah mempunyai pegangan dan cukup bekal yang diperlukan, maka segeralah bertindak (mengerjakannya), jangan ditunda-tunda lagi.
  3. Tanding artinya membanding-bandingkan, maksudnya setelah bertindak pikiran harus berjalan membanding-bandingkan, meneliti, dan sebagainya.
  4. Singkal (metu saka ing akal - Jawa) berarti timbul akalnya. Setelah berpikir, membandingkan, dan meneliti, timbullah suatu akal untuk menyelesaikan pekerjaan.
  5. Kejen artinya kesawijen ialah kesatuan alam pemusatan. Maksudnya, jika akal atau siasat telah didapat maka tenaga dan pikiran harus disatukan.
  6. Olang-aling artinya barang yang menutupi. Maksudnya, setelah mempersatukan segala tenaga dan pikiran untuk mengejar cita-cita (tujuan) yang diinginkan, tujuan seakan-akan di depan mata tanpa ada yang menutupi.
  7. Racuk diartikan ngarah sing pucuk, yaitu menghendaki yang paling atas atau paling tinggi. Maksudnya, jika mengejar cita-cita dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ada, maka cita-cita tersebut akan dapat dicapai walaupun tinggi atau jauh tempatnya. Dalam hal ini manusia diwajibkan berikhtiar dan memohon kepada Allah dalam mencapai cita-cita hidupnya.

C. Pacul (cangkul), filsafatnya adalah bahwa setelah selesai membajak, ternyata di sudut-sudut sawah masih terdapat tanah yang belum terbajak. Hal ini menggambarkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu tentu ada kekurangan dan rintangannya. Kekurangan dan rintangan tersebut harus dapat diatasi. Oleh karena itu, petani perlu menggunakan cangkul yang mempunyai tiga bagian, yaitu:
  1. Pacul (bagian besinya) berasal dari akar kata Jawa (ngipatake barang sing muncul - Jawa), artinya semua pekerjaan yang baik biasanya mendapat godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan. Godaan-godaan tersebut harus dibuang dan dilemparkan jauh-jauh.
  2. Bawak diartikan obahing awak - Jawa, yaitu gerak badan pada waktu bekerja. Maksudnya, dalam mengatasi godaan dan cobaan harus dikerjakan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, sehingga godaan tersebut dapat diatasi, godaan setan dapat diatasi. Berpangku tangan akan menjadi bantal setan.
  3. Doran (kayu pegangan) diartikan ndedongo marang Pangeran - Jawa atau berdoa kepada Allah. Maksudnya, jika mengejar cita-cita yang baik hendaknya mau berikhtiar dan selalu berdoa kepada Allah agar mendapatkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga cita-cita tersebut tercapai dengan baik.

D. Pecut (cambuk), pada waktu petani membajak di sawah tentu membawa cambuk (pecut - Jawa) yang dipergunakan untuk mendorong (mencambuk) hewannya agar berjalan lebih cepat. Selain itu, petani tersebut tentu memakai caping (tutup kepala) untuk menghindari panas terik matahari. Hal ini bermakna simbolik bahwa dalam usaha untuk mencapai cita-cita memerlukan dorongan (motivasi, perlu ‘dicambuk’) sehingga mendapat rizqi yang halal, cukup sandang, pangan, papan, dan cukup kesehatan jasmani-rohani. Hal ini disertai caping yang melambangkan rasa taqwa kepada Allah swt, karena taqwa itu berarti menjaga diri, dalam konteks ini menjagai diri dari sengatan matahari – itulah fungsi caping.

E. Celengan (alat untuk menyimpan uang) melambangkan bahwa manusia hidup di dunia harus mempunyai simpanan amal yang baik atau amal jariyah sebagai simpanan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

F. Endog kamal (telur asin), yang biasanya disertai dengan nasi uduk ulam sari (nasi uduk dengan ikan ayam rebus), melambangkan benih (wiji - Jawa) untuk beramal ibadah yaitu rasa iman dan taqwa. Nasi uduk ulam sari melambangkan harus mengikuti ajaran Rasulullah saw. Hal ini mengandung arti bahwa rasa iman dan taqwa merupakan dasar amal ibadah manusia yang harus sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah saw.

Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN
http://muhstarvision.blogspot.com
|
This entry was posted on 17:04 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: