•00:31
Pengajian of Dearest Friday – PDF (seri ke-39)
Jum’at, 27 Februari 2009

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

WHAT IS "ISLAM"? (bagian 9 - akhir)

ISLAM KEPEMIMPINAN (Leadership Islam)

Shalat jama'ah merupakan simbol atau miniatur kehidupan masyarakat. Imam shalat dianalogikan dengan pemimpin masyarakat, sedangkan makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat. Shalat jama'ah mempunyai aturan-aturan tertentu, masyarakat pun mempun­yai aturan. Mekanisme shalat jama'ah menggambarkan mekanisme kehidupan masyarakat. Seorang imam shalat mempunyai kriteria (syarat) tertentu seperti sanggup menunaikan shalat, mengetahui aturan shalat jama'ah, berakal sehat, mampu membaca al-Quran dengan benar, orang yang sholeh (baik, terhindar dari kemaksiatan), disetujui oleh makmum, dan dapat dipilih yang lebih tua. Syarat tersebut dapat direfleksikan pada pemimpin masyarakat. Dengan demikian seorang pemimpin masyarakat sanggup melaksanakan tugasnya, profe­sional dalam tugasnya, berakal sehat, dapat menjadi contoh yang baik dan disepakati oleh warganya.

Makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat atau bawahan seorang pemimpin. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh makmum antara lain ia di belakang imam (lebih belakang dari imam), meluruskan dan merapatkan barisan shalat, mempunyai niat ikhlas untuk selalu mengikuti gerak-gerik imam, makmum pria berada di bagian depan, anak-anak di tengah, dan wanita di bagian belakang. Dari hal-hal tersebut dapat diketahui bahwa anggota masyarakat atau bawahan menempati posisi lebih bawah dari pada pemimpin. Mereka harus melakukan pekerjaan dengan lurus (benar) dan bersatu (gotong royong). Mereka seharusnya bersedia dengan rela mengikuti aturan yang benar dari pimpinannya. Anggota masya­rakat mempunyai posisi (status) masing-masing. Heterogenitas makmum menggambarkan heterogenitas masyarakat.


Gerakan shalat dapat menggambarkan kepemimpinan yang ideal. Kepala yang di dalamnya terdapat otak menjadi koordinator (pemim­pin) aktifitas tubuh manusia. Saat shalat, dalam satu rekaat, kepala harus berada di atas sebanyak dua kali (saat berdiri dan i’tidal), di tengah dua kali (saat ruku' dan duduk), dan di bawah juga dua kali (saat dua sujud). Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memperhati­kan seluruh rakyatnya secara adil, baik masyarakat kelas bawah, menengah, maupun atas. Dia seharusnya dapat bermusyawarah dengan rekan (rakyat)-nya di kalangan atas dengan demokratis. Dia seharusnya melihat keadaan dan mendengar suara rakyat kelas menengah. Dia juga seharusnya "turun ke bawah" untuk memperhatikan keawaman dan kemiskinan rakyat bawah, untuk mendengarkan rintihan dan usulan wong cilik, dan untuk memikirkan pemecahan problematika mereka.


Gerakan shalat jama'ah merupakan gerakan kolektif, yaitu gerakan yang dilakukan secara bersama-sama setelah imam memberi contoh. Kebersamaan ini merupakan simbol persatuan dan kesatuan manusia yang seharusnya digalang dengan gotong royong dan saling membantu. Gerakan tersebut juga mengindikasikan keteladanan para pemimpin, yaitu ketika imam bergerak terlebih dahulu dari pada makmum. Dengan demikian seorang pemimpin harus ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (memberi contoh waktu di depan, memberi semangat waktu di tengah, dan memberi doa restu waktu di belakang).


Jika imam melakukan suatu kesalahan bacaan maupun gerakan, maka makmum harus mengingatkannya. Makmum mengingatkan bacaannya bila kesalahan pada bacaan dan jika kesalahannya pada gerakan maka makmum pria mengingatkan dengan mengucap subhaanallaah (Maha Suci Allah) dan makmum wanita mengingatkan dengan tepuk tangan sekali. Hal tersebut merupakan simbol kontrol sosial (kritik sosial) dari rakyat (wakil rakyat) terhadap pemimpinnya. Kontrol (kritik) itu dilakukan dengan "suara" atau gerakan yang tidak menusuk perasaan. Dalam hal ini pemimpin (imam) harus peka dan jujur.


Apabila imam melakukan sesuatu yang membatalkan shalat (misalnya kentut), maka ia harus menyingkir untuk berwudlu, kemudian makmum yang berdiri di belakangnya maju selangkah untuk menggantikan dan melanjutkan kepemimpinannya dalam shalat. Hal ini menjadi simbol suksesi atau regenerasi kepemimpinan. Imam batal shalatnya berarti dia tidak mampu (tidak sah), memang tidak boleh, melanjutkan kepemimpinan shalatnya. Jika seorang pemimpin tidak mampu (tidak pantas) memimpin, maka seharusnya ia turun jabatan dengan sadar, jujur, dan ikhlas. Penggantinya adalah orang yang paling dekat dengannya, yaitu dekat tempat, jabatan, maupun kemampuannya (simbol makmum pengganti yang di belakang imam). Makmum pengganti imam melanjutkan shalatnya; pemimpin harus melanjutkan kepemimpinan yang lama, bukan mengulangi atau merom­baknya.


Berkaitan dengan pergantian kepemimpinan, al-Quran menegaskan pada ayat 26 Q.S. al-Imran, yang artinya, "Katakanlah, 'Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehen­daki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'". Ayat tersebut mengisaratkan bahwa pergantian kepemimpinan tidak lepas dari taqdir Allah, dari apa yang dikehendaki oleh Allah. Manusia hanya sekedar berusaha dan berdoa.


Al-Mawardi
(975 – 1059 M), lengkapnya Abu Hasan Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashri, seorang pemikir Islam, mengemukakan syarat-syarat seorang pemimpin (dalam hal ini kepala negara), yaitu (Sudarnoto 1995:153 – 166) :

  1. Mempunyai integritas moral yang tinggi (adil)
  2. Berilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama
  3. Tidak cacat pisik
  4. Mempunyai wawasan politik dalam rangka mengatur rakyat
  5. Ahli dalam taktik dan strategi perang
Penerapan "teori" kepemimpinan yang tersirat dalam shalat hendaknya diwujudkan secara kongkrit. Pengamalan ajaran shalat seseorang dalam kehidupan nyata menjadi indikasi bahwa seseorang itu menegakkan shalat. Seorang pemimpin masyarakat harus sanggup melaksanakan tugas­nya, profesional dalam tugasnya, berakal sehat, dapat menjadi contoh yang baik dan disepakati oleh warganya. Seorang pemimpin harus ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (memberi contoh waktu di depan, memberi semangat waktu di tengah, dan memberi doa restu waktu di belakang).


Rasulullah saw menyatakan bahwa salah satu golongan yang akan dilindungi oleh Allah di akhirat adalah Imaamun ‘aadilun (
Pemimpin yang adil) (HR Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, yang artinya, “Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah pemimpin yang lalim” (asyaddun-naasi yaumal-qiyaamati ‘adzaaban imaamun jaairun – HR Abu Ya’la, Thabrani, dan Abu Nu’aim). Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Cepat-cepatlah beramal (mendahului datangnya) enam hal : yaitu kepemimpinan orang-orang bodoh, banyaknya kaki tangan penguasa, penjualan hukum, menganggap ringan (pertumpahan) darah, terputusnya sanak saudara, dan orang-orang yang menjadikan al-Quran hanya sebagai terompet, mereka kemukakan salah seorang dari mereka untuk berlagu bagi mereka sekalipun ia yang paling sedikit dari pengertiannya” (HR Thabrani).

Fiedler, dalam bukunya berjudul A Theory of Leadership Effectiveness, sebagaimana dikutip oleh Torrington (1991:124), menyebutkan tiga faktor efektivitas kepemimpinan, yaitu hubungan atasan-bawahan (leader-member relation), struktur tugas (task structure), dan kekuatan posisi (position power). Jika hubungan tersebut bagus, struktur tugasnya jelas, dan posisinya kuat, maka kepemimpinan suatu lembaga, termasuk universitas - sejak ketua jurusan sampai rektor, akan sangat efektif.


Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun

Penulis:
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies, University of Sheffield UK
http://muhstarvision.blogspot.com
|
This entry was posted on 00:31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: